top of page

Maklum, "Peneroka"

  • Writer: Azizah Zahra
    Azizah Zahra
  • May 4, 2020
  • 8 min read

It's the Will...

Hai, ini tulisanku di tahun 2018 lalu, gagal ikut challenge dari Ransel Santri, karena aku males-malesan dan lelet kirim tulisan ini, hihi.. ngga papa, it's the will, ini hanya kemauanku saja jadi ku harus menerima konsekuensi yang ada, jadi tulisan ini kudedikasikan untuk diriku sendiri, kunikmati beberapa kenangan, pengalaman, dari kejadian saat itu. Tulisan ini nggak ku perbarui lagi, agar terlihat orisinil tulisan di tahun 2018. semoga kamu suka yaa :)



ree

“Dunia itu seluas langkah kaki. Jelajahi dan jangan takut melangkah. Hanya dengan itu kita bisa mengerti kehidupan dan menyatu dengannya, then believe me, we are not alone Allah is always with us


Dari wacana menjadi nyata. Begitulah kira-kira asal mula perjalanan ini bisa terlaksana. Perjalanan pendakian terpanjang yang baru ini aku alami. Pendakian yang membutuhkan sekumpulan niatan yang benar-benar mantap, pendakian yang membutuhkan seribu perasaan takut yang mencekam, pendakian yang membutuhkan waktu yang panjang untuk menuju ke lokasi. Pendakian Gunung Merbabu dengan ketingian 3142 mdpl daerah Boyolali Jawa Tengah, here I come!


ree

Perjalanan, kami mulai dari arah Solo dengan menggunankan sepeda motor. Setelah benar-benar lengkap persiapan kami, akhirnya kami menempuh lokasi yang cukup jauh, sekitar 2 jam dari lokasi kami saat itu. Sampailah kita pada pukul 16.45 WIB. Kami menuju basecamp dan melakukan briefing sebelum kami melakukan pendakian. Tak bisa di pungkiri. Ini benar-benar nyata!, do’a tak henti-hentinya aku panjatkan, dan restu orang tua yang benar-benar mujarab. Karena, kondisi sebelum aku mendaki, benar-benar lemas, namun karena bantuan semangat dari teman-teman dan do’a serta murotal yang kami putar berkali-kali selama kami melakukan pendakian.


Pendakian kami dimulai tepat pukul 17.30 WIB. Hawa dingin, cuaca benar-benar kabut, dan sehari sebelum kami kesana di atas gunung benar benar ada badai dan angin kencang. Perasaan yang begitu mencengkam dan takut yang kami rasakan saat itu. Syukurlah dua orang dari rombongan kami pernah melakukan pendakian ke gunung Merbabu ini, sehingga membuatku yakin dan percaya, bahwa InsyaAllah kami bisa sampai ke puncak yang kami inginkan. Kami percaya bahwa Allah selalu ada disetiap perjalanan kami. Sehingga rasa takut, kecewa, murung, akhirnya tersingkirkan. “Pantang pulang sebelum padam!” Slogan pemadam kebakaran yang tiba-tiba merasuk dipikiranku saat itu, akhirnya kembali merubah segalanya, sebuah batu loncatan untuk menjadi penyemangat bagi diri. Gunung Merbabu here I come!


Di gunung Merbabu sendiri terdapat bebarapa pos yang ditempuh dengan sekian waktu. Jika dihitung, kami bisa sampai ke sabana 1 sampai 7 jam, namun perjalanan yang kami tempuh pada malam yang benar-benar dingin itu, hanya membutuhkan 5 jam saja. MasyaAllah waktu yang begitu cepat, karena kami tidak sedikit-sedikit untuk berhenti, sampai pada pos 1 Alhamdulillah perjalanan kami lancar, dan kami bisa bertemu dengan beberapa rombongan pada malam itu, usai dari pos 1 sampai pada pos bayangan, kami menempuh waktu kurang lebih 2 jam dan dari pos bayangan itu, kami tidak berhenti dan rehat sejenak, perjalanan terus kami singgahi, setapak demi setapak, pelan namun pasti dengan semangat teman-teman yang begitu luar biasa.


Namun, benar-benar tak disangka, sebelum sampai pada pos 2 aku mendapat ujian dari Allah SWT, berupa sandal gunungku copot, dan lumayan begitu licin. Akhirnya, jika masih terus kupakai, akan membahayakan diriku sendiri, dan mau ngga mau, aku harus berjalan menyusuri jalan gunung ini dengan tak beralaskan kaki. Awalnya masih menggunakan kaos kaki, namun dengan kaos kaki ini juga, masih terasa licin, sehingga aku harus telanjang kaki untuk menempuh perjalanan yang masih sangat jauh untuk sampai ke puncak. Aku yakin, dibalik ujian ini InsyaAllah akan ada pertolongan dari Allah SWT yang tak akan bisa disangka dan di nalar. Sampailah kita pada pos 2 kurang lebih 30 menit, pos yang dikenal dengan tikungan macan.


Pada pos 2 ini, kami melemaskan badan, dan istirahat sejenak, untuk megumpulkan nafas kami yang saat itu sudah terengah-rengah. Udara disana juga tak dapat dipungkiri kembali. Salah satu dari rombongan kami mengecek berapa derajat suhu pada saat itu. Ternyata cukup dingin. Suhu sudah menunjukkan 9/10 derajat celcius. Sampai sini, kaki ku masih belum benar-benar dingin. Disambi dengan memijat kecil kakiku ini, supaya terasa hangat, lemas dan tidak mati rasa. Sekitar 10 menitan telah berlalu. Istirahat kami rasa sudah cukup, dan kami melanjutkan perjalanan untuk menuju pos 3. Di plang yang ada di pos 2, perjalanan menuju pos 3 bertuliskan sampai 1,5 jam namun, kami berusaha untuk sampai pada pos 3 dengan cepat, dan tidak melebihi batas waktu yang telah ditargetkan, agar kami bisa bergegas untuk istirahat dan makan malam, kebetulan perut kami saat itu sudah benar-benar lapar, belum makan sesendok nasipun, hanya berbekal makanan ringan untuk menyangkal perut kami yang kosong.


Tepat selama 1,5 jam kami sampai pada pos 3. Kaki ku saat itu sudah mulai mati rasa dan sudah tak terasa jika dipegang. Perasaan cemas mulai timbul. Sementara dari rombongan kami tidak ada yang membawa cadangan sandal atau lainnya, akhirnya dengan tekad dan yakin, Bismillahirrahmanirrahiim... salah satu teman kami, menyemangatiku untuk terus berjuang melawan rasa mati yang terjadi pada kedua kakiku ini. Sempat terlintas, aku tak bisa melanjutkan perjalanan kembali, benar-benar tak bisa. Suhu badan mulai lemas, derajat nya pun semakin dingin, sudah mencapai 6 derajat celcius. Allah always with us. Akhirnya setelah istirahat beberapa menit, kami melanjutkan perjalanan menuju sabana 1.


Tujuan kami adalah nge camp di sabana 2, karena selain tempatnya yang begitu luas, daratannya juga pas, dan lumayan dekat dengan puncak yang menjadi tujuan utama kami. Kurang lebih selama setengah jam, kami menelusuri daerah yang benar-benar batu, pasir yang basah dan dingin, bibir dan tangan yang sudah menggigil, hidung sudah mulai mengeluarkan air, dan pusing rasanya sampai ke ubun. Setengah jalur pasir baru terlampaui, tapi urat-urat kaki ku sudah pada tegang semua. Bagaimana ini. Aku pun terus membuntuti pendaki di depan. Langkah mereka kadang cepat kadang pelan. Tergantung kondisi medan, dan jutaan butir pasir yang mereka injak itu makin gencar memproduksi debu tebal. Angin membawanya terbang ke belakang, ke arah wajahku, dan terus berhembus ke arah puncak. Terpaksa aku meminta temanku untuk berhenti sejenak di tengah perjalanan, sungguh benar benar kelelahan, nafas terengah-rengah, obat yang aku bawa ternyata ada di dalam tas yang dasar, jadi harus bongkar-bongkar untuk membukanya. Cukup lama mengumpulkan nafas agar pulih kembali. Medan yang kami lewati benar-benar menanjak. Banyak bebatuan juga yang runtuh. Sehingga kami harus sigap menghindar agar tidak terkena bebatuan yang runtuh.


Usai cukup lama kami istirahat. Kami melanjutkan perjalanan kami meuju sabana 1, dan Alhamdulillah, akhirnya kami sudah sampai ke sabana 1 setelah beberapa menit kemudian. Salah satu teman kami memutuskan untuk nge camp di sabana 1 saja, melihat kondisiku dan teman-teman yang benar-benar sudah tidak kuat. Akhirnya kami mencari tempat yang nyaman dan terhindar dari angin kencang. Dua tenda cepat kami dirikan, dan bergegas kami melakukan sholat maghrib dan isya’ dengan jama’ takhir. Usai itu kami makan malam, dengan beberapa bekal yang kami bawa dari basecamp yaitu nasi, dan kami membuat beberapa mie untuk menjadi lauk kami pada malam itu, benar-benar sederhana namun sungguh nikmat jika dirasa pada saat itu. Karena makanan yang paling enak adalah makanan ketika kita lapar, dan ketika kita merasa syukur dan cukup.


Alhamdulillah, akhirnya perut kami benar-benar terisi, badan kami pun juga sudah tidak semenggigil tadi ketika kami melakukan perjalanan menuju sabana 1 ini. Kami melakukan penghangatan dengan membuat beberapa susu cokelat, usia semua beres. Kami isirahat kembali dengan beralaskan sleaping bag yang kami bawa. Dinginnya pun masih terasa, namun Alhamdulillah, selama aku melakukan pendakian, dan kali itu aku benar-benar bisa tertidur dengan nyenyak dalam kondisi suhu sudah sampai 2 derajat celcius. Padahal, kakiku tadi mengalami mati rasa yang hebat. Tanpa alas kaki, harus menyusuri bebatuan-bebatuan yang runcing juga. Sampai saat ini, aku masih yakin Allah akan memberikan kami pertolongan dan bantuan yang tidak akan pernah kami duga dengan nalar kami.


Tepat pukul 03.00 WIB, di sepertiga malam kami bangun, kami masih akan melanjutkan perjalanan menuju puncak yang kurang lebih harus ditempuh sampai satu jam setengah. Masih sama dengan kondisi awal, kakiku masih saja telanjang, dan aku masih melakukan perjalanan untuk sampai ke puncak. Di gunung Merababu sendiri dengan ketinggian 3142 mdpl memiliki tiga puncak. Puncak yang kami inginkan adalah puncak kenteng songo, karena disana adalah tempat yang paling bagus untuk medapatkan sunrise. Sampai di tengah perjalanan, ternyata kabut nya begitu tebal, sepertinya sunrise yang kami inginkan gagal, dan belum menjadi rezeki bagi kami. Namun kami tau, bahwa tujuan kami untuk sampai sini adalah bukanlah sunrise, sunrise hanyalah bonus yang diberikan Allah SWT. Tujuan kami sampai sini adalah untuk sampai ke puncak, sebuah puncak yang benar-benar mengajarkan kami segala hal, menjadikan kami begitu kecil dimata Allah, dan kami belum ada apa-apanya di muka bumi ini. Sebuah puncak yang mengajarkan kami bahwa sebuah raga boleh kita bawa ke tempat yang paling tinggi, namun jangan sampai kita biasakan hati kita meninggi. Karena di atas awan masih ada awan. Bukankah begitu?


Ada begitu banyak jurang yang kami lewati, pikiran saat itu begitu berkecamuk, memikirkan hal yang tidak-tidak, entah pendaki yang hilang, pendaki yang terjatuh, atau nyasar entah kemana. Perjalanan semakin terasa berat ketika aku menjumpai jalan terjal berpasir yang begitu licin. Ibaratnya, jalan dua langkah mundur selangkah. Tipsnya tidak disarankan memperbanyak istirahat apalagi sampai duduk selonjoran. Kalau mau istirahat sebentar, cukup dengan berdiri saja. Kebanyakan istirahat membuat sistem tubuh harus memulai lagi ritme yang baru untuk mendaki lagi dan cepat membuat tubuh menggigil kedinginan. Waktu menunjukan pagi, namun aku dan teman-teman belum juga sampai puncak. Kami sholat shubuh di lereng puncak Merbabu dan hendak menikmati sunrise disana. Namun, amat disayangkan. Sunrise yang kami harapkan tak terlihat, karena kabutnya yang begitu tebal. Aku semakin putus asa untuk bisa sampai ke puncak. Energiku sudah benar-benar habis. Aku sudah tidak bisa melangkah lagi saat itu, hanya bisa merangkak sedikit demi sedikit. Bekal obat yang ku kantongi akhirnya bisa memulihkan energiku.

Ku putuskan untuk menyerah saat itu. Menyerah dengan rasa tidak rela dan menyesali tidak bisa sampai ke puncak. Puncak kenteng songo yang kami harapkan. Ku berusaha bersandar di beberapa kayu pepohonan dan mengantuk luar biasa. Badan sudah lemas juga was-was terhadap reruntuhan batu dari atas karena pendaki lain sudah banyak yang langsung turun dari puncak. Saat itu juga ku tak tahan untuk tidak menangis. Merasa mentalku cemen sekali. Aku masih saja berusaha sedikit demi sedikit mendaki dengan merangkak. Ahh... Payah, baru merangkak dua kali saja, aku kembali lemah kemudian beristirahat lama, mencoba merangkak lagi. Begitu seterusnya meski aku sudah bilang pada teman temanku, bahwa aku menyerah. Namun, aku tetap berusaha untuk mendaki sampai puncak.


Puncak terlihat dekat, tapi rasanya sudah berulang kali aku merangkak dan merangkak kenapa belum sampai-sampai juga. Lagi-lagi ku menangis atas ketidakberdayaanku. Rasanya mau mati karena aku tak punya tenaga banyak lagi. aku bertemu dengan beberapa rombongan yang sudah turun, wajahnya berbinar-binar. Mungkin begitulah perasaannya setelah berhasil memburu puncak di Merbabu. Lama kelamaan saya berusaha berdiri, berusaha melangkah lagi dan Alhamdulillah berhasil. Aku semakin bersemangat, tampaknya tenagaku sudah mulai pulih kembali. Hingga akhirnya saya pun sampai puncak. Dan begitu tak disangka, ternyata medan yang kami lewati benar, kami sudah sampai ke puncak kenteng songo. Puncak yang begitu kami tuju untuk sampai sini.


ree

Naik gunung memberikan pelajaran banyak buatku. Yang paling sulit adalah mengalahkan diri sendiri, itu yang ku rasakan beberapa hari lalu. Selain itu, naik gunung juga bisa membuat kita membaca karakter orang lain. Apakah dia egois, apakah dia pandai memimpin teman-temannya untuk sampai puncak yang dituju. Puji syukur, atas pertolongan Allah dan sejak awal sebelum berangkat aku mendapat beberapa kali ujian dari Allah SWT. Untuk menaklukan Merbabu dengan ketinggian 3142 mdpl. Alhamdulillah, Allah memberikan kami keselamatan hingga akhir perjalanan dan banyak sekali membawa oleh-oleh berupa pesan yang bermanfaat untuk kehidupan. Terimakasih Merbabu, kau membuat kami merasa sangat kecil, kecil sekali dihadapan Sang Pencipta.


We are not alone, Allah is always with Us” Terimakasih Allah, atas segala galanya yang telah Engkau berikan pada kami, belajar arti kesabaran, mengikhlaskan, menunggu, ketulusan, dan segala hal yang tak dapat kami sebutkan satu persatu. Ku yakin Allah akan hadir disetiap perjalananku, kapanpun dan dimanapun itu. Setiap puncak yang kusinggahi setiap angin lembah yang menerpaku semuanya memiliki kisah, arti, makna dan pengalaman tersendiri, dan biarkan semesta mengajarkan arti kehidupan yang sebenarnya.


ree

Comments


bottom of page